Jakarta – Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, menyentil pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, yang menyinggung soal “Raja Jawa”. Pernyataan tersebut diutarakan Bahlil dalam pidatonya pada Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar 2024, yang membuat ramai jagat politik Indonesia.
Dalam pidatonya, Bahlil mengungkapkan pandangannya mengenai sosok yang dianggap paling menakutkan di dalam konstelasi politik nasional, yang ia sebut sebagai “Raja Jawa”. Istilah ini memicu beragam reaksi, salah satunya dari Muhammad Said Didu.
“Tidak semua orang takut sama Raja Jawamu,” kata Said Didu melalui akun media sosialnya, mengomentari pidato Bahlil yang dianggapnya menyinggung sensitivitas dan dinamika politik yang ada. Ia menegaskan bahwa di negara demokrasi seperti Indonesia, tidak seharusnya ada istilah yang merujuk pada kekuasaan berlebihan atau dominasi satu kelompok di atas yang lain.
Said Didu, yang dikenal kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, menambahkan bahwa penggunaan istilah semacam itu berpotensi memecah belah dan tidak mencerminkan semangat persatuan dan kesetaraan yang menjadi dasar bangsa Indonesia. Ia mengingatkan bahwa semua pemimpin, apapun latar belakangnya, harus bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai penguasa yang ditakuti.
Komentar Said Didu ini menambah deretan kritik yang diarahkan kepada Bahlil Lahadalia. Banyak pihak menilai bahwa penggunaan istilah “Raja Jawa” dalam konteks politik nasional dapat menimbulkan persepsi yang salah, terutama dalam hal representasi dan keadilan antar daerah di Indonesia.
Di sisi lain, pendukung Bahlil berargumen bahwa pernyataan tersebut hanyalah metafora untuk menggambarkan betapa kuatnya pengaruh tokoh-tokoh tertentu dalam politik nasional, khususnya dari Pulau Jawa, yang seringkali mendominasi panggung politik Indonesia. Namun, bagi Said Didu dan beberapa tokoh lainnya, penggunaan istilah semacam itu dianggap tidak pantas dan dapat menimbulkan salah tafsir.
Dengan kontroversi ini, wacana mengenai sentralisasi kekuasaan dan dominasi kelompok tertentu dalam politik Indonesia kembali mencuat. Banyak yang berharap agar perdebatan ini dapat menjadi momen refleksi bagi para pemimpin politik untuk lebih memperhatikan keadilan dan pemerataan dalam kekuasaan di seluruh wilayah Indonesia, sehingga tidak ada lagi stigma atau persepsi negatif terkait dominasi tertentu dalam pemerintahan.
Said Didu pun menutup komentarnya dengan harapan agar pernyataan seperti itu tidak terulang lagi di masa mendatang, dan agar para pemimpin lebih bijak dalam memilih kata-kata yang disampaikan ke publik. “Negara kita besar dan majemuk, kita harus lebih hati-hati dalam bertutur, karena setiap kata bisa punya dampak yang besar,” pungkasnya. (Red)