Pematangsiantar – Kota Pematangsiantar pada Jumat pagi ini menjadi saksi dari aksi unjuk rasa besar yang digelar oleh Aliansi Mahasiswa Siantar Bersatu (AMSB). Aliansi ini merupakan gabungan dari beberapa organisasi mahasiswa terkemuka, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kelompok Studi Pendidikan Merdeka (KSPM), Kelompok Mahasiswa Peduli Demokrasi (KMPD), Gerakan Ikatan Mahasiswa dan Pemuda (GIMP), dan Gerakan Mahasiswa Peduli Masyarakat (GAMPERA).
Aksi yang digelar ini bertujuan untuk menolak Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang dinilai mengancam demokrasi di Indonesia.
Massa aksi AMSB memulai gerakan mereka dengan long march dari beberapa titik strategis di kota, seperti Makam Pahlawan, Pajak Horas, dan Suzuya, sebelum akhirnya berkumpul di depan Kantor DPRD Pematangsiantar. Dengan bersemangat, para mahasiswa ini menyampaikan orasi di sepanjang perjalanan mereka, mengekspresikan rasa kekecewaan terhadap kondisi demokrasi di Indonesia saat ini.
Pimpinan aksi, Jira, dalam orasinya di depan Kantor DPRD Pematangsiantar, menyampaikan bahwa aksi ini adalah bentuk protes keras terhadap apa yang mereka sebut sebagai kondisi “darurat demokrasi” di Indonesia. “Kami mengawal putusan Mahkamah Konstitusi sebagai putusan tertinggi di negara ini,” tegasnya. Jira juga menyampaikan beberapa isu yang menjadi fokus utama aksi ini, antara lain penolakan terhadap RUU Pilkada, desakan agar DPR RI dan KPU RI mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024, ajakan untuk kembali ke UUD 1945, dan penolakan terhadap politik dinasti.
Dalam perjalanan menuju Kantor DPRD, di depan Pajak Horas, Andry Napitupulu dari KMPD mengajak berbagai elemen masyarakat untuk bergabung dalam aksi ini. Ia mengajak pedagang kaki lima, juru parkir, ojek online, supir, dan seluruh pemuda di Pematangsiantar untuk bersama-sama turun ke jalan. “Negara sedang dalam keadaan darurat, rezim saat ini sangat menakutkan sehingga membuat rakyat menderita,” serunya, mengkritik keras pemerintah yang dianggapnya telah menyengsarakan rakyat.
Ronald Panjaitan, Ketua GMNI, dalam orasinya di depan Kantor DPRD Pematangsiantar menegaskan bahwa aksi ini adalah bentuk dukungan penuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ia mengecam keras upaya DPR RI untuk membahas RUU Pilkada pasca putusan MK. “Putusan MK bersifat final dan mengikat, maka unjuk rasa ini juga adalah simbol perlawanan keras kepada pihak-pihak yang mencoba mengutak-atik konstitusi kita,” ujar Ronald dengan lantang.
Kanda, Koordinator Lapangan KSPM, menyatakan rasa muaknya terhadap berbagai keputusan pemerintah yang dinilai tidak dapat ditolerir. Ia menyoroti pentingnya kembali kepada UUD 1945 yang asli. “Pada intinya kami tidak ingin ada segelintir orang-orang yang katanya wakil rakyat, tetapi malah memprioritaskan kepentingan pribadi mereka,” tegasnya, menyinggung keras upaya politik dinasti yang semakin kuat.
Setiba di depan Kantor DPRD Pematangsiantar, Robert Hidayat Pardosi, Ketua Umum HMI Cabang Pematangsiantar-Simalungun, menyatakan ketidakpercayaannya terhadap pernyataan DPR RI yang mengklaim telah membatalkan pembahasan RUU Pilkada. Ia menegaskan bahwa AMSB akan terus mengawal putusan MK yang bersifat final dan mengikat hingga KPU RI mengeluarkan Peraturan KPU yang baru sesuai dengan putusan MK tersebut. Robert juga mengkritik sikap DPRD Pematangsiantar yang dinilai tidak kooperatif dalam menerima aspirasi masyarakat dan tindakan represif dari pihak kepolisian terhadap massa aksi.
Indra Simarmata, Ketua GIMP, dalam orasinya menekankan bahwa kondisi demokrasi di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ia menyebut adanya kekuatan politik yang berusaha menganulir putusan MK melalui RUU Pilkada demi meloloskan salah satu anak penguasa di negeri ini. “Kami sangat kecewa karena tidak ada satu pun anggota DPRD Pematangsiantar yang hadir di kantor saat kami melakukan aksi di jam kerja. Ini adalah bentuk ketidakpedulian terhadap rakyat,” ungkapnya.
Karena kekecewaan yang tidak tersalurkan kepada anggota DPRD, massa aksi akhirnya melakukan tindakan simbolis dengan menyita dan menyegel Kantor DPRD Pematangsiantar. Pimpinan aksi menegaskan bahwa tindakan ini dilakukan atas mandat rakyat yang merasa aspirasinya tidak didengar oleh para wakil mereka di DPRD.
Aksi unjuk rasa ini diakhiri dengan seluruh massa aksi berkumpul melintang seperti lingkaran sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya, kemudian ditutup dengan doa bersama. Massa aksi kemudian dibubarkan dengan tertib oleh Pias, menunjukkan disiplin dan semangat juang mahasiswa dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan di Indonesia.
Aksi ini adalah bukti nyata bahwa mahasiswa Pematangsiantar tidak tinggal diam dalam menghadapi ancaman terhadap demokrasi. Melalui aksi damai yang diwarnai dengan berbagai orasi, AMSB berusaha menyampaikan pesan kuat kepada pemerintah dan DPRD, bahwa mereka akan terus mengawal dan mempertahankan demokrasi serta konstitusi negara. Mereka menolak segala bentuk upaya yang merusak demokrasi, termasuk melalui politik dinasti dan RUU Pilkada yang kontroversial. (Fendi)