Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengecam keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI yang mencabut nama mantan Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Keputusan tersebut dianggap sebagai langkah mundur dalam perjalanan reformasi Indonesia.
“Ini adalah langkah mundur perjalanan Reformasi. Jalan pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan, maupun pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama 32 tahun Soeharto berkuasa belum selesai diungkap,” ujar Usman Hamid dalam keterangan tertulis yang diterima oleh IDN Times pada Kamis (26/9).
Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 merupakan salah satu simbol penting dari era Reformasi yang dimulai setelah lengsernya Soeharto pada tahun 1998. Tap ini dianggap sebagai landasan untuk memerangi KKN yang marak terjadi selama Orde Baru, serta upaya mengungkap pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.
Usman Hamid menilai bahwa pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR tersebut menciptakan preseden buruk dalam sejarah politik Indonesia. “MPR telah membuka jalan untuk membersihkan kesalahan-kesalahan penguasa masa lalu. Ini langkah yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan keadilan,” tambahnya.
Keputusan MPR ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan, khususnya dari aktivis HAM dan pegiat antikorupsi yang melihatnya sebagai upaya menghapus jejak sejarah kelam rezim Orde Baru. Menurut Usman, pencabutan tersebut berpotensi menghalangi upaya pengungkapan lebih lanjut terhadap kejahatan-kejahatan masa lalu, termasuk korupsi yang terstruktur dan pelanggaran HAM yang belum sepenuhnya diadili.
Ia juga menekankan bahwa reformasi yang diperjuangkan sejak 1998 bertujuan untuk memastikan adanya transparansi, akuntabilitas, serta penghormatan terhadap hukum dan HAM di Indonesia. Pencabutan ini, menurutnya, merusak semangat reformasi yang seharusnya tetap dijaga dan diperjuangkan oleh lembaga-lembaga negara.
Kritik Usman Hamid ini mewakili suara-suara yang menentang langkah MPR dan meminta agar keputusan tersebut segera dievaluasi. Masyarakat diharapkan tetap kritis dalam menjaga warisan reformasi agar Indonesia tidak kembali ke masa kelam yang penuh dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merusak sistem pemerintahan dan keadilan.
Langkah ini juga menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk mengungkap dan menuntaskan kasus-kasus korupsi dan pelanggaran HAM di masa lalu masih jauh dari selesai. Aktivis seperti Usman Hamid menuntut agar negara terus berkomitmen untuk menuntaskan reformasi, dan tidak mengambil langkah yang dianggap sebagai “pembersihan” kesalahan masa lalu tanpa pertanggungjawaban yang jelas. (Red)