Jakarta – Dalam beberapa pekan terakhir, wacana terkait gerakan coblos tiga paslon dan golput di Pilgub Jakarta yang digaungkan oleh simpatisan Anies Baswedan semakin ramai diperbincangkan. Kendati demikian, sejumlah pengamat politik menilai gerakan tersebut tidak akan memberikan pengaruh signifikan terhadap legitimasi hasil akhir dari kontestasi elektoral mendatang.
Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari simpatisan Anies yang merasa kecewa setelah Anies Baswedan tidak berhasil maju sebagai calon dalam Pilgub Jakarta 2024. Para pendukungnya mengusulkan dua bentuk sikap politik, yakni mendukung tiga pasangan calon atau memilih golput sebagai bentuk protes atas situasi politik yang mereka anggap tidak memberikan alternatif representasi yang memadai.
Para analis politik menilai gerakan ini, meskipun mencerminkan bentuk ekspresi politik yang sah, tidak akan secara signifikan mempengaruhi legitimasi hasil akhir dari Pilgub Jakarta. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, meskipun kampanye golput atau dukungan pada tiga paslon ini berkembang di kalangan simpatisan Anies, tingkat partisipasi pemilih di Pilgub Jakarta cenderung tetap tinggi. Hal ini didasarkan pada pengalaman elektoral sebelumnya, di mana seruan golput tidak pernah menghasilkan penurunan signifikan dalam jumlah pemilih yang datang ke TPS.
“Golput dan gerakan serupa biasanya hanya mempengaruhi kelompok kecil yang merasa tidak puas dengan pilihan politik. Sebagian besar masyarakat Jakarta tetap akan menggunakan hak pilih mereka, terutama di kota besar di mana kesadaran politik dan partisipasi cenderung lebih tinggi,” ungkap Burhanuddin.
Sementara itu, pakar politik dari Universitas Indonesia, Chusnul Mariyah, menyayangkan gerakan ini. Menurutnya, meskipun merupakan hak politik setiap individu, tindakan ini mencederai semangat partisipasi dan kedewasaan berpolitik yang seharusnya ditunjukkan oleh masyarakat Jakarta.
“Golput adalah bagian dari hak politik, tapi bukan solusi yang ideal. Pilkada adalah momen untuk menentukan masa depan Jakarta, dan semangat partisipasi politik seharusnya dijunjung tinggi. Mendorong golput justru berpotensi mengabaikan kepentingan warga,” tegas Chusnul.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa gerakan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan yang wajar di kalangan simpatisan Anies, namun harus disalurkan dengan cara yang lebih konstruktif. “Alih-alih mendorong golput, sebaiknya mereka mendorong dialog politik yang lebih terbuka dan mencari kandidat yang bisa mengakomodasi aspirasi mereka.”
Dukungan untuk gerakan ini juga dianggap mencerminkan ketidakdewasaan dalam berpolitik, menurut Ketua Dewan Kehormatan Partai NasDem, Lestari Moerdijat. Menurutnya, pemilihan kepala daerah seharusnya menjadi ajang untuk memperkuat demokrasi, bukan mereduksi pilihan politik dengan cara golput atau sekadar memilih tiga pasangan calon sebagai protes.
“Ini ujian bagi kedewasaan berpolitik kita. Di Jakarta, sebagai ibu kota negara, seharusnya masyarakat bisa menunjukkan kematangan politik dengan memilih kandidat yang dianggap terbaik, bukan malah menjatuhkan pilihan pada pilihan yang ekstrem seperti golput,” ujar Lestari.
Meski gerakan coblos tiga paslon dan golput ini menggema di kalangan simpatisan Anies Baswedan, para pengamat politik dan pakar menilai bahwa gerakan ini tidak akan memberikan dampak signifikan pada legitimasi hasil akhir Pilgub Jakarta. Partisipasi politik yang tinggi di Jakarta, serta pemahaman masyarakat mengenai pentingnya memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan, diyakini akan membuat gerakan ini hanya menjadi bagian kecil dari dinamika elektoral tanpa mengubah jalannya kontestasi secara menyeluruh.
Wacana yang diusung simpatisan Anies Baswedan memang menjadi sorotan, namun kedewasaan politik yang dibutuhkan dalam pesta demokrasi seperti Pilgub Jakarta harus tetap menjadi prioritas utama. (Red)