Oleh : Yudi Hasmir Siregar, SH, MH saat ini berprofesi sebagai Advokat di kota Medan
Awan kelam kembali menggantung di langit Partai Golkar. Menjelang tutup tahun, partai berlambang pohon beringin itu diguncang isu serius yang mengarah pada pergantian pucuk pimpinan melalui mekanisme Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Lebih mengejutkan lagi, isu ini tak datang dari spekulasi biasa: Istana disebut-sebut telah memberikan restu untuk mengganti Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia.
Ketidakpuasan Melebar: Kepemimpinan Bahlil Disorot
Dorongan kuat untuk menggelar Munaslub tak lepas dari ketidakpuasan kader-kader senior dan daerah terhadap kepemimpinan Bahlil. Sosok yang naik ke tampuk kekuasaan partai setelah Airlangga Hartarto ini dinilai terlalu loyal dan identik dengan Presiden Joko Widodo yang masa jabatannya telah berakhir.
Loyalitas Bahlil kepada Jokowi, yang dulunya dianggap sebagai keuntungan elektoral, kini berbalik menjadi beban politik. Banyak pihak di internal Golkar menilai bahwa Bahlil gagal memosisikan partai sesuai arah kekuasaan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto. Alih-alih menjadi partai yang siap beradaptasi, Golkar justru dianggap menjadi “penopang bayangan” kekuatan masa lalu.
Kontroversi Kebijakan: Luka di Akar Rumput
Masalah yang membelit Bahlil tak hanya menyangkut posisi politiknya, tapi juga terkait sejumlah kebijakan kontroversial saat menjabat sebagai Menteri Investasi. Dua isu besar mencuat:
1. Skandal tambang di Raja Ampat, di mana Bahlil disebut-sebut turut bertanggung jawab atas penerbitan izin yang dinilai merusak kawasan konservasi.
2. Larangan pengecer menjual LPG 3 kilogram, kebijakan yang menuai gelombang protes dari masyarakat kecil dan memicu keresahan di tingkat akar rumput.
Kedua kebijakan itu menimbulkan luka serius bagi citra Golkar sebagai partai yang selama ini mengklaim berpihak pada rakyat kecil dan pembangunan berkelanjutan.
Nusron Wahid Muncul Sebagai Penantang Serius
Dalam kekosongan arah dan krisis kepercayaan ini, nama Nusron Wahid tiba-tiba muncul sebagai alternatif kuat. Politikus senior Golkar yang kini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN ini dikabarkan telah mendapat sinyal langsung dari Istana untuk mempersiapkan diri menggantikan Bahlil.
Lebih dari itu, Nusron disebut telah dipanggil ke Hambalang, sebuah lokasi strategis yang selama ini dikenal sebagai tempat konsolidasi elite kekuasaan. Di sana, ia dikabarkan menerima arahan langsung mengenai rencana besar perubahan kepemimpinan di tubuh Golkar.
Nusron bukan nama baru di panggung politik nasional. Pernah memimpin GP Ansor dan aktif di berbagai komisi DPR RI, ia dikenal sebagai politisi vokal, progresif, namun tetap bisa diterima oleh berbagai kalangan. Di mata banyak kader, Nusron merepresentasikan semangat pembaruan yang tetap berpijak pada akar ideologis partai.
Munaslub: Kapan dan Apa Dampaknya?
Sumber-sumber internal menyebutkan bahwa Munaslub kemungkinan besar akan digelar sebelum akhir Desember 2025. Tujuannya bukan sekadar mengganti ketua umum, tetapi juga melakukan reposisi besar terhadap arah politik Partai Golkar, yang akan sangat menentukan langkah partai dalam menghadapi Pilkada 2027 dan Pemilu 2029.
Jika Munaslub benar terjadi, ini akan menjadi titik balik penting bagi Partai Golkar. Pertarungan bukan hanya soal siapa yang akan memimpin, tapi juga arah dan strategi partai di bawah pemerintahan baru. Apakah Golkar akan tetap relevan dan kuat di panggung kekuasaan nasional? Atau justru makin tenggelam oleh konflik internal yang tak kunjung usai?
Pernyataan Resmi Masih Dinanti
Hingga tulisan ini dibuat, baik pihak Istana maupun DPP Partai Golkar belum memberikan pernyataan resmi mengenai rencana Munaslub ataupun arah suksesi kepemimpinan. Namun, dinamika yang terjadi di lapangan dan pergerakan sejumlah tokoh partai memberikan sinyal bahwa perubahan besar tengah dipersiapkan.
Penutup:
Golkar di Persimpangan Jalan
Partai Golkar saat ini berada di persimpangan jalan paling kritis dalam sejarah modernnya. Apakah akan memilih tetap berjalan dengan kepemimpinan lama yang stagnan, atau memilih jalur pembaruan dengan wajah baru yang lebih siap menghadapi tantangan era Prabowo?
Yang jelas, waktu semakin mendesak. Suara kader menuntut perubahan semakin keras. Dan jika benar Istana telah memberikan restu, maka perubahan tampaknya bukan sekadar kemungkinan tapi keniscayaan.
Golkar bergejolak. Perubahan mungkin tak terelakkan.