Jakarta – Kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga dilakukan oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik setelah sejumlah mantan pemain sirkus mendatangi Kementerian Hukum dan HAM. Dalam pertemuan yang berlangsung pada Selasa, 15 April 2025 lalu, mereka mengungkap pengalaman pahit yang dialami sejak usia balita ketika dipaksa menjadi pemain sirkus oleh OCI.
Ketiga mantan pemain yang hadir yakni Ida, Vivi Nurhidayah, dan Butet menyampaikan langsung pengakuan mereka kepada Wakil Menteri HAM, Mugiyanto. Mereka datang untuk melakukan audiensi sekaligus menuntut keadilan dan pengakuan atas dugaan eksploitasi dan kekerasan fisik serta psikis yang dialami selama bertahun-tahun saat bekerja di bawah naungan OCI.
Ida: Dari Balita hingga Patah Tulang Belakang
Ida menceritakan dirinya dibawa dari orang tuanya oleh pihak OCI saat baru berusia lima tahun pada tahun 1976. Ia kemudian dibawa ke sebuah lokasi pelatihan di kawasan Cisarua, Bogor, untuk dilatih sebagai pemain sirkus. Menurut Ida, dalam proses pelatihan ia kerap menerima kekerasan fisik.
“Jadi di pertengahan pelatihan itu memang seringkali suka ada perlakuan kasar. Seperti dipukuli. Kalau ada salah sedikit dipukul,” ujar Ida di Kantor Kementerian HAM.
Ida juga mengungkap insiden tragis pada tahun 1989 ketika ia jatuh saat melakukan atraksi akrobatik dan mengalami patah tulang belakang. Meski begitu, ia tetap dipaksa untuk terus tampil demi kepentingan pertunjukan.
Butet: Diambil Sejak Usia Dua Tahun
Kesaksian lain datang dari Butet, yang mengungkap dirinya diambil saat masih berusia dua tahun dan mulai dilatih pada usia tiga. Dalam wawancaranya di Metro Hari Ini, Metro TV pada Jumat, 18 April 2025, Butet menceritakan bagaimana ia bersama anak-anak lain dipaksa menjalani latihan keras tanpa keinginan mereka sendiri.
“Di situ saya lihat banyak anak-anak seusia saya diajarin dasar-dasar akrobat dan ‘gadis plastik’ tanpa kemauan kami. Saya melihat semakin waktu berjalan kekerasan makin sering terjadi. Kadang teman saya ditempeleng. Saya kebingungan karena saya masih kecil,” kata Butet.
OCI dan Taman Safari Indonesia Bantah Tuduhan
Menanggapi tuduhan tersebut, pihak OCI dan Taman Safari Indonesia membantah semua klaim yang disampaikan para mantan pemain. Pendiri OCI, Tony Sumampau, menyebut tuduhan penyiksaan sebagai hal yang tidak berdasar dan menyebut kehidupan para pemain sirkus justru dijalani seperti keluarga.
“Pendisiplinan itu dalam pelatihan pasti ada. Tapi kalau sampai dipukul pakai besi, itu tidak masuk akal. Kalau dia luka, dia tidak bisa tampil atraksi kan?” ujar Tony saat diwawancarai Metro Pagi Primetime, Minggu, 20 April 2025.
Tony bahkan menyebut isu penyiksaan itu hanya untuk menciptakan sensasi. “Penyiksaan-penyiksaan itu hanya membuat sensasi supaya yang dengar terkejut,” tambahnya.
Korban dan Kuasa Hukum: Tony Harus Bertanggung Jawab
Pernyataan Tony tersebut langsung dibantah keras oleh para korban. Butet menyebut bahwa Tony tidak mengetahui secara rinci karena yang kerap melakukan kekerasan justru para pelatih seperti Frans dan Yansen. Sementara Vivi menambahkan bahwa bukti-bukti kekerasan telah mereka kumpulkan dan siap dibawa ke proses hukum.
Kuasa hukum para pelapor, Muhammad Soleh, mengecam keras sikap Tony yang meremehkan penderitaan para korban. Ia menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar pelatihan, melainkan eksploitasi anak.
“Sebanyak 60 balita diambil dari orang tuanya dan tidak diberikan pendidikan yang layak. Apakah ini bukan kekejaman? Tony Sumampau tidak membantah fakta bahwa anak-anak itu dipisahkan dari keluarga, tidak digaji, dan mengalami kekerasan,” tegas Soleh.
Menurutnya, istilah “kedisiplinan” yang digunakan Tony adalah pembenaran atas praktik eksploitasi anak yang dilakukan secara sistematis.
Kementerian HAM Diminta Ambil Tindakan Tegas
Mendapati pengakuan dan kesaksian para korban, Wakil Menteri HAM Mugiyanto menyatakan pihaknya akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut dan tidak akan ragu mengambil langkah hukum bila ditemukan cukup bukti.
“Kementerian akan serius menangani laporan ini. Setiap bentuk pelanggaran HAM, apalagi terhadap anak, tidak bisa ditoleransi,” ujar Mugiyanto.
Kasus ini kini menjadi perhatian luas di masyarakat, terlebih karena menyangkut perlakuan terhadap anak-anak di bawah umur. Banyak pihak mendesak agar pemerintah bertindak tegas dan membawa kasus ini ke ranah hukum demi menegakkan keadilan dan memberikan perlindungan terhadap korban eksploitasi anak. (Red)