Oleh : Yudi Hasmir Siregar, SH, MH saat ini berprofesi sebagai Advokat di kota Medan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi telah menjadi topik yang memicu perdebatan sengit di Indonesia. Jika RUU ini diundangkan, ia berpotensi merugikan sejumlah pihak yang selama ini diuntungkan oleh kelemahan dalam sistem hukum terkait pemberantasan korupsi. RUU ini dirancang untuk memperkuat penegakan hukum dengan memungkinkan negara merampas aset-aset yang didapatkan dari tindak pidana korupsi, tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang inkrah.
Bagi para pelaku korupsi, serta mereka yang berada di lingkaran kekuasaan yang memiliki aset-aset hasil dari kejahatan, pengundangan RUU ini bisa menjadi ancaman besar.
Mereka mungkin akan kehilangan kekayaan yang didapatkan secara ilegal, dan terancam menghadapi proses hukum yang lebih cepat dan efektif. Ini tentu saja menimbulkan kegelisahan, terutama di kalangan elite politik dan pengusaha yang terlibat dalam praktik koruptif.
Kegelisahan ini kerap diekspresikan melalui berbagai upaya untuk menggagalkan atau menunda pengesahan RUU Perampasan Aset. Bagi mereka, satu-satunya cara untuk menghentikan dorongan terhadap RUU ini adalah dengan melawan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dianggap sebagai pendorong utama pengesahan RUU tersebut.
Spekulasi yang berkembang di publik adalah bahwa jika Jokowi lengser, maka desakan untuk mengesahkan RUU ini akan hilang, atau setidaknya melemah. Hal ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap RUU ini lebih bersifat politis daripada substantif, berakar pada kekhawatiran akan hilangnya kekuasaan dan pengaruh, bukan pada keberatan prinsip terhadap undang-undang tersebut.
Sebagian besar masyarakat merasa heran dan geram melihat bagaimana RUU Perampasan Aset ini diperlakukan. Mereka mencatat bahwa demonstrasi dan ancaman yang sering muncul dari kelompok-kelompok tertentu hampir selalu terkait dengan perebutan kekuasaan atau distribusi jatah kekuasaan di antara partai-partai politik.
Namun, ironisnya, partai-partai ini tidak pernah menunjukkan dukungan yang serius terhadap RUU yang bisa mengembalikan uang negara yang dirampas oleh para koruptor. Ini menimbulkan pertanyaan: Partai politik mana yang sebenarnya bermain dalam dinamika ini? Mengapa tidak ada komitmen yang kuat dari mereka untuk memberantas korupsi secara nyata?
Publik semakin sadar bahwa banyak partai politik lebih fokus pada kekuasaan daripada pada upaya substansial untuk memberantas korupsi. Ini terlihat dari bagaimana mereka lebih sering menggerakkan massa untuk isu-isu yang berkaitan dengan kekuasaan, namun jarang sekali terlihat mengadvokasi undang-undang yang dirancang untuk memperkuat integritas negara dan mengembalikan aset negara yang hilang.
Jika RUU Perampasan Aset akhirnya diundangkan, ia akan menjadi langkah penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, tantangan politik dan perlawanan dari mereka yang merasa dirugikan menunjukkan bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum dan keadilan masih panjang.
Masyarakat berharap agar undang-undang ini segera disahkan, bukan hanya sebagai simbol komitmen terhadap pemberantasan korupsi, tetapi sebagai alat yang nyata untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah dicuri oleh para koruptor.