Medan – Tuntas News – Kontradiksi kembali mencuat di SMA Negeri 8 Medan. Setelah rapat komite dan wali murid hanya mengusulkan tiga opsi iuran (Rp50 ribu, Rp75 ribu, dan Rp100 ribu per bulan), pihak sekolah bersama komite justru menetapkan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) sebesar Rp150 ribu. Kebijakan itu memantik protes mayoritas orang tua siswa, yang menilai keputusan tersebut sepihak dan berpotensi menyalahi aturan.
Di satu sisi, pihak sekolah berdalih penetapan Rp150 ribu sudah melalui mekanisme musyawarah. Di sisi lain, wali murid merasa dibebani dan terpaksa membayar karena ada ancaman anak mereka tak boleh ikut ujian jika menunggak. Situasi ini melahirkan pertanyaan mendasar: SPP Rp150 ribu ini benar-benar hasil kesepakatan atau pungutan terselubung?
Kontroversi Surat Edaran
Berdasarkan dokumen yang diperoleh, sekolah sempat mengeluarkan Surat Edaran No. 420/330/SMAN8 Medan/2025 yang menetapkan Rp150 ribu per bulan, sekaligus membatalkan surat edaran sebelumnya No. 420/379/SMAN8/VII/2025. Padahal, dalam rapat komite bersama wali murid, usulan yang mengemuka hanya sampai Rp100 ribu.
Wali murid mengaku kaget sekaligus bingung. “Kami tidak tahu siapa yang memutuskan angka Rp150 ribu itu. Apakah kepala sekolah, komite, atau Dinas Pendidikan?” ujar salah satu orang tua berinisial O.
Suara Sekolah dan Komite
Kepala SMA Negeri 8 Medan, Rita Hartati, membantah tuduhan pungutan liar. Ia menegaskan bahwa penetapan iuran mengacu pada PP No. 48/2008 dan Permendikbud No. 75/2016, serta paparan Anggaran Kegiatan Sekolah (ARKAS).
“Besaran SPP disesuaikan dengan kemampuan orang tua. Bagi siswa afirmasi tidak dibebankan SPP. Kalau ada orang tua yang tidak sanggup, dipersilakan datang berkomunikasi dengan sekolah,” kata Rita, Kamis (18/9).
Ketua Komite, Sena Wardana, menambahkan, surat edaran sudah memberi opsi bagi orang tua yang merasa keberatan untuk menghubungi sekolah. “Tidak ada pemaksaan. Ini hasil musyawarah yang diputuskan bersama,” ujarnya.

Fakta di Lapangan: Terpaksa Bayar
Namun pengakuan sejumlah wali murid berbeda. Mereka menyebutkan, mayoritas (80%) tidak setuju dengan nominal Rp150 ribu. Tetapi karena takut anaknya ditekan atau tidak diperbolehkan ikut ujian, mereka akhirnya membayar.
“Ini bukan sukarela. Kami terpaksa, demi anak. Kalau tidak bayar, anak kami yang jadi korban,” kata seorang wali murid lainnya.
Bahkan, pengadaan buku paket juga dipersoalkan. Orang tua mengaku masih ada siswa yang harus berbagi buku berdua, meski sekolah di duga mendapat dana BOS sekitar Rp1,2 miliar.
Dimensi Hukum, Sosial, dan Psikologis
Secara hukum, Permendikbud 75/2016 melarang komite maupun sekolah menetapkan pungutan wajib dalam bentuk nominal tetap dan periode bulanan. Yang diperbolehkan hanyalah sumbangan sukarela, tanpa paksaan, tanpa penetapan angka, dan tanpa tenor bulanan.
Secara sosial, kebijakan ini dinilai menekan orang tua dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Secara psikologis, orang tua berada dalam dilema: menolak iuran berarti mempertaruhkan masa depan anak, sementara membayar menambah beban ekonomi.

Preseden Buruk
Persoalan pungutan bukan hal baru di SMA Negeri 8 Medan. Pada 2023, kasus serupa menyeret kepala sekolah saat itu, Rosmaida Asianna Purba, hingga dijatuhi sanksi disiplin. Ironisnya, praktik serupa kembali terulang dengan pola yang nyaris sama.
Kini, publik menunggu apakah Dinas Pendidikan Sumut, Inspektorat, atau Ombudsman akan turun tangan mengusut dugaan pungutan terselubung ini. Jika dibiarkan, kasus Rp150 ribu di SMA Negeri 8 Medan berpotensi menjadi preseden buruk bagi wajah pendidikan negeri yang seharusnya menjamin keadilan dan akses tanpa diskriminasi.
Analisis
Wali murid menilai, Kasus ini memperlihatkan benturan antara aturan hukum dan praktik di lapangan. Secara normatif, sekolah berlindung pada mekanisme musyawarah. Tetapi secara faktual, mayoritas orang tua merasa tidak punya pilihan selain tunduk.
Kontradiksi inilah yang menimbulkan ketidakpercayaan publik. Di satu sisi sekolah bicara “sumbangan sukarela”, tapi di sisi lain wali murid menyebut ada unsur pemaksaan.
Jika benar iuran Rp150 ribu diperlakukan sebagai kewajiban, maka praktik ini patut diuji apakah masuk ranah pungutan liar. Selain itu, Wali Murid meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas persoalan dugaan SPP tersebut. ( TIM)





















































